Tadinya diemohi. Sekarang digilai. Lebih edan. Lebih massal. Guys, it’s melodic punk!
Sabtu (26/3) malam lalu Tennis Indoor Senayan serasa mau pecah. Selama enggak kurang dari dua jam, tuh venue ledes digedor sama aksi Simple Plan yang atraktif. Sekitar 5.000 penonton kompak melonjak-lonjak mengikuti tingkah Pierre cs, yang memang hobi banget lelompatan di atas panggung.
Kalau diperhatikan, rata-rata penonton konser Simple Plan kemarin adalah cewek dari berbagai usia. Seperti diakui oleh Adri Soebono, promotor konser ini, mayoritas yang datang tuh seusia SMP. Dan kedatangannya pun diantar ortu masing-masing.
Hal ini jadi menarik lantaran apa yang dibuat sama Simple Plan sama sekali bukan barang baru. Enggak seperti Linkin Park yang nonjok dengan kemasan metal bersalut hip hop kental. Atau Muse, misalnya, yang sukses menggabungkan unsur rock dengan klasik, dan sedikit J-pop.
Kalau mau jujur, yang dikemas sama Pierre cs tuh enggak lebih dari pengulangan. Dari racikan yang pernah dibuat sama Green Day, sekitar 15 tahun lalu. Racikan yang isinya kord 3 jurus dari musik punk yang simpel, plus solmisasi musik pop yang melodius. Dan jelas-jelas punya "racun" yang kuat. Racikan yang akhirnya mengangkat Green Day sebagai salah satu ikon musik penting di tahun ’90-an. Racikan yang kemudian jadi cetak biru bagi sebuah sub-genre berjuluk melodic punk atau melodic core bagi sebagian orang.
Unsur pop ini enggak berhenti hanya di elemen solmisasi nada dan struktur lagu. Lebih dari itu, unsur itu juga tercermin dalam barisan lirik yang dibesut sama sebagian besar pengusung aliran ini.
Tarik mundur sedikit ke akhir ’70-an. Saat itu punk muncul sebagai antitesa dari art rock, prog-rock, serta glam rock. Maklum, ketiga aliran ini dianggap sangat elitis. Cuma bisa dimainkan dan didengar oleh mereka-mereka yang pernah mengecap sekolah. Musik, secara lebih khusus.
Nah, kaum yang kemudian disebut punk ini pengin membuktikan bahwa musik itu bisa dimainkan oleh siapa aja. Asal punya niat dan attitude, cukuplah. Maka, musik yang digeber itu enggak lebih dari 3 kord. Dimainkan dengan distorsi pol dan aksi panggung yang heboh.
Berhubung kebanyakan band ini berangkat dari kalangan menengah bawah, lirik-lirik lagunya pun sarat protes terhadap isu sosial. Isu tentang ketidakadilan, perbedaan kelas, sampai hal- hal berbau politis. Terang saja, saat itu aliran musik kayak gini diemohi banget. Jangankan oleh para ortu. Di tingkat negara pun pengusung musik ini dianggap "musuh". Antikemapanan, begitu sebutannya.
Tetapi, punk ini tumbuh subur. Peminatnya pun-punkers-makin banyak. Punk bukan lagi sebutan buat sebuah aliran musik, melainkan menjelma jadi sebuah subkultur. Band-band kayak The Ramones, The Clash, hingga The Sex Pistols banyak dijadikan inspirasi.
Hal-hal semacam itu enggak berlaku dalam kemasan punk sekarang. Sejak dipopulerkan kembali oleh Green Day, ada semacam perubahan esensi dalam musik punk. Liriknya enggak lagi bicara tentang runyamnya hubungan negara dengan rakyat. Atau masyarakat dengan individu yang hidup di dalamnya. Yang lebih jadi titik berat adalah hubungan antar-individu. Ya antar-peer- group, pacar, atau anggota keluarga. Satu topik yang umum dibicarakan dalam musik-musik mainstream (baca: pop). Enggak heran kalau belakangan, secara musikal, punk menjadi begitu ramah. Menelusup ke kuping segala lapisan masyarakat. Segala usia, kelas, dan juga jenis kelamin.
Dalam perkembangannya sekarang, pengusungnya makin jauh dari image punk zaman dulu yang cenderung eksklusif, radikal, kadang antisosial. Sebaliknya, band-band punk pasca-Green Day rata-rata punya tampang dan gaya sangat "menjual" layaknya boyband gitulah. Tetap punya kesan edgy, liar, atau nakal. Namun, sama sekali enggak sampai bikin para ortu jantungan. Setidaknya, tingkah laku mereka masih bisa ditolerir sama kalangan yang lebih tua. Asal tahu saja, selama konsernya di Jakarta, ada personel Simple Plan yang klabing sampai larut malam. Tapi, sebagian besar memilih untuk istirahat di hotel. Enggak ada yang bikin onar. Kata-kata kasar pun dijaga enggak sampai terdengar di antara para fans.)
Enggak maksa
Segambreng fakta di atas menimbulkan sebuah anggapan kalau melodic punk tuh lebih pas buat cewek.
"Anggapan kayak gitu mungkin keluar dari mulut mereka yang enggak suka melodic punk. Enggak apa-apa juga kalau mereka ngomong begitu. Tapi kalau gue pribadi, walaupun gue enggak suka jenis musik tertentu atau band apalah, gue tetap enggak akan membencinya. Kami enggak maksa kok!" tanggap Pierre, vokalis Simple Plan.
"Setiap musik pasti berkembang. Termasuk juga punk. Cuma gimana berkembangnya dan sampai mana berkembangnya, itu tergantung yang merasakan. Setiap orang kan punya rasa yang berbeda. Itu bisa dipersepsikan sebagai suatu kemajuan atau kemunduran, tergantung siapa yang mendengarnya!" lanjut cowok asal Montreal, Kanada, ini.
Yap, apa yang dibilang Pierre enggak salah. Kita memang enggak bisa menebak ke mana angin berembus. Kita pun enggak bisa menahan jalannya perubahan.
Buat band-band kayak Simple Plan, anggapan miring itu sepertinya enggak penting. Mau fans-nya cewek semua, dan dianggap "punk cewek" sekalipun, enggak jadi masalah. Toh malam itu konser mereka sukses membukukan sold out. Mereka pun sukses menjual sekitar 110.000 kopi album terbaru Still Not Getting Any, hanya di Indonesia. Sebuah prestasi yang sangat lumayan buat sebuah album nagri.
That was then and this is now. Boleh saja ada yang kesal, atau enggak terima. Berasa ideologinya "tercemar". Keyakinannya "terpolusi". Tapi kenyataan berkata lain. Saat ini punk sudah bukan hanya milik segelintir kalangan lagi. Sudah mulus terpoles zaman dan segudang kompromi industri. Lima ribu orang yang ngumpul di Tennis Indoor Senayan Sabtu malam lalu jadi salah satu bukti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar